Kamis, Juli 09, 2009

Megawati & Rakyat Indonesia Bertanya Pada Obama & DUNIA, Mengapa Hak Politik Rakyat & Demokrasi Kami Ditindas Mati ?


TULISAN UTAMA DI WWW.KATAKAMI.COM

Dimuat juga di WWW.KATAKAMIINDONESIA.WORDPRESS.COM dan di WWW.KATAKAMIINDONESIA.VOX.COM


Jakarta 9/7/2009 (KATAKAMI) Panggung perpolitikan Pemilihan Umum PILPRES 2009 telah usai. Hasilnya seperti yang sudah ditebak sebelumnya bahwa patut dapat diduga pihak tertentu memang masih sangat ngotot untuk bisa tetap melanggengkan kekuasaannya seperti zaman Soeharto. Kekuasaan memang ibarat kenikmatan yang paling nikmat. Kekuasaan sanggup membutakan mata hati, pikiran dan moralitas manusia.

Apa yang mau dibanggakan oleh TNI, POLRI, Badan Intelijen Negara (BIN), khususnya Kantor Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukkam) setelah patut dapat diduga mereka sangat sukses dan berhasil memenangkan dan mengamankan ambisi politik sang pimpinan yang ingin agar kekuasaannya beranak-cucu di negara demokrasi bernama Indonesia ?

http://nurulloh.kompasiana.com/files/2009/06/megawati-hs-agus-susanto.jpg

Apa yang mau dibanggakan oleh oknum-oknum militer dan POLISI yang bermasalah dengan hukum karena patut dapat diduga demi mengamankan diri mereka agar tidak tersentuh oleh jerat hukum maka dengan penuh pengabdian dan totalitas telah memudahkan kemenangan dalam PILPRES 2009 ?

Termasuk didalamnya, patut dapat diduga oknum POLRI Gories Mere telah dengan "idiot" eh "sok genius" menciptakan kemenangan ini yang patut dapat diduga dengan kejahatan Informasi dan Teknologi (IT) yang sangat kotor mengerikan.

Capres Megawati Soekarnoputri sangat prihatin atas adanya sikap tidak netral yang telah ditunjukkan dan dilakukan secara "berjamaah" oleh instansi-instansi penting di Indonesia.


"Apakah mereka pikir, ini adalah kesuksesan ? Dari sisi mana mereka menilai maka kemenangan ini disebut sebuah kesuksesan dari aparat-aparat yang tidak netral itu ? Apakah di hati mereka itu, sudah tidak ada rasa hormat kepada nilai-nilai demokrasi dan hak-hak politik rakyat ? Saya ingin tahu, apakah mereka yakin bahwa rakyat Indonesia ini bisa dibodoh-bodohi terus menerus ? Kasihan mereka" kata Megawati Soekarnoputri secara EKSKLUSIF kepada KATAKAMI.COM yang sepanjang hari Rabu (8/7/2009) berada di kediaman Megawati -- baik saat berada di kediamanan jalan Kebagusan Jakarta Selatan atau di Jalan Teuku Umar Menteng Jakarta Pusat.

Jangan dipikir bahwa laporan-laporan dari daerah tidak masuk ke pihak Megawati dan Prabowo Subianto. Bayangkan, patut dapat diduga POLRI menjadi ujung tombak segala kecurangan di berbagai daerah.

Dan Megawati sudah memprediksi sejak awal bahwa keikut-sertaan dirinya sebagai CAPRES akan dijegal dan digagalkan dengan menggunakan KEJAHATAN TEKNOLOGI (IT).


"Kejahatan IT adalah ancaman paling serius dalam Pilpres 2009 ini. Saya tidak mengerti, mengapa seperti ini menegakkan demokrasi ? Tahun 2004, saya telah berhasil menggelar pesta demokrasi yang jujur, langsung, bebas, rahasia dan bermartabat. Presiden Jimmy Carter datang ke Indonesia untuk memantau Pemilu dan beliau juga bertemu langsung dengan saya. Presiden Jimmy Carter menyampaikan pemghargaan bahwa pemerintahan saya telah berhasil menggelar Pemilu pertama yang bersifat langsung. Pemilu apa ini yang sekarang ? Harusnya bisa lebih baik dari Pemilu yang dilakukan oleh pemerintahan saya tahun 2004. Ini justru mundur jauh ke belakang. Jauh lebih buruk dari Pemilu sepanjang Orde Baru yang sudah dapat kita tebak siapa yang akan keluar sebagai pemenang," lanjut Megawati.

Ketidak-netralan TNI, POLRI, BIN dan terutama Jajaran Kementerian Kantor Polhukkam sangat menyedihkan dan dikecam keras oleh Megawati.


"Saya ingatkan ya, rakyat itu tidak bodoh. Rakyat itu menilai. Sekarang ini pilihannya ada 2, mau melawan semua kecurangan yang sangat kotor ini dengan cara-cara kekerasan atau dengan jalur hukum ? Bukan sifat saya kalau menggunakan cara-cara kekerasan. Saya anti kekerasan. Tapi apakah mereka yang menjadi aparat itu siap kalau rakyat sudah tidak tahan dan memberontak terhadap semua kecurangan ini ? Apakah mereka menembaki rakyatnya sendiri ? Saya akan katakan, ayo coba tembak rakyatmu kalau berani ! Jangan sakiti rakyat Indonesia. Rakyat ini sudah lelah. Ini Pemilu yang penuh kecurangan" tambah Megawati yang berbicara dengan tenang dan sangat berkharisma.

Megawati memang benar.

Tidak seperti ini caranya jika ingin meraih kemenangan -- termasuk jika ingin memperpanjang dan melanggengkan kekuasaan --. Hak politik rakyat mutlak untuk dihormati.

Saat penghitungan suara cepat sudah sangat tidak berimbang sejak awal penghitungan. Saat capres Megawati dan Muhammad Jusuf Kalla memulai penghitungan dengan hitungan awal 0 (nol) %, patut dapat diduga angka awal penghitungan dari pihak calon lainnya sudah langsung 50 %.


Bahkan, Barack Hussein Obama sendiri sebagai kandidat CAPRES AS tidak akan pernah bisa memenangkan "PRESIDENTIAL ELECTION 2008" jika lawan politiknya mencuri start dan mencuri angka kemenangan sangat besar sekitar 50 % dari totalitas perolehan angka kemenangannya.

Dunia internasional dan khususnya AMERIKA SERIKAT kini berada di persimpangan di jalan.

Seiring dengan ucapan SELAMAT yang akan mereka sampaikan nanti, rakyat Indonesia akan menatap satu persatu pemimpin dunia itu dengan tatapan dan penilaian yang sangat menyakitkan hati.

Salahkah rakyat Indonesia jika mendambakan dan mengharapkan berjalannya atau tegaknya sebuah proses demokrasi secara benar ?

Salahkah rakyat Indonesia jika sudah sangat lelah dengan semua kekuasaan yang kotor dan sangat tidak berperikemanusiaan membunuh hak-hak politik rakyat ?

Salahkah jika saat ini rakyat Indonesia meratap dan menangisi ketidak-mampuan mereka melawan arogansi kekuasaan yang patut dapat diduga telah melakukan KEJAHATAN KEMANUSIAAN yang paling kotor di abad kekinian -- 11 tahun setelah reformasi Indonesia ?


Terlalu kotor caranya jika kecurangan ini dilakukan secara BERJAMAAH oleh semua aparat pemerintah, terutama patut dapat diduga dilakukan TNI, POLRI dan BIN -- dibawah koordinasi Kantor Kementerian POLHUKKAM --.

Saat Iran rusuh pasca pelaksanaan PILPRES mereka, AMERIKA SERIKAT seakan cakar-cakaran untuk mendesak agar Presiden Obama cepat bereaksi menentang tercederainya nilai-nilai demokrasi disana. Tapi kini, AMERIKA SERIKAT dinantikan reaksinya oleh rakyat Indonesia secara keseluruhan ?

Politik kotor seperti inilah yang akan didukung oleh semua politisi muda sangat berkharisma sekelas BARACK HUSSEIN OBAMA ?

Sebelum Barack Hussein Obama menjawab "YA", maka sudilah kiranya ia membayangkan bagaimana jika ia melaju dalam pertarungan PILPRES 2008 dulu ... semua perangkat pemerintah di AS melakukan kecurangan yang sudah sangat kotor dan parah ?

Sebutlah misalnya, Dinas Intelijen CIA, Biro Investigasi Federal (FBI), Militer AS dan semua perangkat AS. Bagaimana perasaan dan kemarahan Obama jika langkah politiknya dijegal dengan cara-cara yang sudah sangat tidak manusiawi dengan kejahatan teknologi dan semua praktek kotor yang menistakan nilai demokrasi AS ?


Sebelum Barack Hussein Obama menjawab "YA" untuk mendukung hasil Pemilu yang patut dapat diduga sangat kotor dengan kecurangan BERJAMAAH seperti ini, ada baiknya kalau Obama mengenang semua sifat yang sangat indah, luhur dan mulia dari ibu yang melahirkan dirinya yaitu Almarhumah Stanley Ann Dunham.

Perempuan yang sangat cerdas dan kuat dalam membela kepentingan kaumnya.

Stanley Ann Dunham mengabdikan dirinya secara total untuk membantu kaum miskin dan papa, kalangan tak berdaya dan sebagian besar diantaranya adalah kaum perempuan. Termasuk INDONESIA, adalah sebuah negara yang menjadi tempat terbanyak bagi Stanley Ann Dunham untuk mengabdikan diri dan hidupnya demi kebaikan bagi sesamanya manusia.

Stanley Ann Dunham tidak akan pernah membiarkan satu detikpun dalam hidupnya dulu untuk membiarkan rakyat yang lemah tak berdaya itu semakin remuk digilas oleh zaman yang ganas. Ia habiskan hidupnya untuk mengunjungi banyak negara tetapi bukan untuk menikmati glamournya dunia. Melainkan untuk mengunjungi rakyat yang miskin dan papa.

Ia datang dengan ketulusan dan penghormatan yang penuh kepada nilai-nilai kemanusiaan. Ia datang dengan keiklasan yang sangat tinggi tingkat kemuliaannya untuk menunjukkan kepada kalangan perempuan dimanapun juga bahwa solidaritas sesama jender akan tetap terwujud tanpa mengenal batas ruang dan waktu.


Jika dengan segenap hati dan cinta yang ada di hatinya, Barack Hussein Obama mau mengenang sisi yang sangat mengagumkan ini dari figur ibu yang melahirkannya maka tak akan pernah Obama mau mendukung semua kejahatan kemanusiaan yang membunuh nilai-nilai kebenaran, hukum, HAM dan kemanusiaan di muka bumi ini.

Betapa sakit dan hancur rasanya sebentuk hati yang dimiliki oleh begitu banyak rakyat INDONESIA yang sudah dirampas dan ditindas hak-hak politiknya demi hawa nafsu kekuasaan pihak tertentu.

Seakan tak ada tempat untuk mengadu dan meminta pertolongan bahwa sebuah kebiadaban sudah semakin percaya diri untuk melahap habis nilai demokrasi dan kebenaran di negeri yang begitu elok bernama INDONESIA.

Tanah airku INDONESIA, meratap, menangis dan terhempas kembali ke titik terendah dalam berdemokrasi.

(MS)

Senin, Juni 22, 2009

Tulisan Presiden Obama Pada Perayaan “Father’s Day”, : WE NEED FATHERS TO STEP UP !





By : BARACK HUSSEIN OBAMA

Dimuat juga di http://www.katakamikatakami.vox.com , http://www.blogkatakaminews.blogspot.com dan http://www.katakaminews.wordpress.com


As the father of two young girls who have shown such poise, humor, and patience in the unconventional life into which they have been thrust, I mark this Father’s Day—our first in the White House—with a deep sense of gratitude. One of the greatest benefits of being President is that I now live right above the office. I see my girls off to school nearly every morning and have dinner with them nearly every night. It is a welcome change after so many years out on the campaign trail and commuting between Chicago and Capitol Hill.

But I observe this Father’s Day not just as a father grateful to be present in my daughters’ lives but also as a son who grew up without a father in my own life. My father left my family when I was 2 years old, and I knew him mainly from the letters he wrote and the stories my family told. And while I was lucky to have two wonderful grandparents who poured everything they had into helping my mother raise my sister and me, I still felt the weight of his absence throughout my childhood.

As an adult, working as a community organizer and later as a legislator, I would often walk through the streets of Chicago’s South Side and see boys marked by that same absence—boys without supervision or direction or anyone to help them as they struggled to grow into men. I identified with their frustration and disengagement—with their sense of having been let down.

In many ways, I came to understand the importance of fatherhood through its absence—both in my life and in the lives of others. I came to understand that the hole a man leaves when he abandons his responsibility to his children is one that no government can fill. We can do everything possible to provide good jobs and good schools and safe streets for our kids, but it will never be enough to fully make up the difference.

That is why we need fathers to step up, to realize that their job does not end at conception; that what makes you a man is not the ability to have a child but the courage to raise one.

As fathers, we need to be involved in our children’s lives not just when it’s convenient or easy, and not just when they’re doing well—but when it’s difficult and thankless, and they’re struggling. That is when they need us most.

And it’s not enough to just be physically present. Too often, especially during tough economic times like these, we are emotionally absent: distracted, consumed by what’s happening in our own lives, worried about keeping our jobs and paying our bills, unsure if we’ll be able to give our kids the same opportunities we had.

Our children can tell. They know when we’re not fully there. And that disengagement sends a clear message—whether we mean it or not—about where among our priorities they fall.

So we need to step out of our own heads and tune in. We need to turn off the television and start talking with our kids, and listening to them, and understanding what’s going on in their lives.

We need to set limits and expectations. We need to replace that video game with a book and make sure that homework gets done. We need to say to our daughters, Don’t ever let images on TV tell you what you are worth, because I expect you to dream without limit and reach for your goals. We need to tell our sons, Those songs on the radio may glorify violence, but in our house, we find glory in achievement, self-respect, and hard work.

We need to realize that we are our children’s first and best teachers. When we are selfish or inconsiderate, when we mistreat our wives or girlfriends, when we cut corners or fail to control our tempers, our children learn from that—and it’s no surprise when we see those behaviors in our schools or on our streets.

But it also works the other way around. When we work hard, treat others with respect, spend within our means, and contribute to our communities, those are the lessons our children learn. And that is what so many fathers are doing every day—coaching soccer and Little League, going to those school assemblies and parent-teacher conferences, scrimping and saving and working that extra shift so their kids can go to college. They are fulfilling their most fundamental duty as fathers: to show their children, by example, the kind of people they want them to become.

It is rarely easy. There are plenty of days of struggle and heartache when, despite our best efforts, we fail to live up to our responsibilities. I know I have been an imperfect father. I know I have made mistakes. I have lost count of all the times, over the years, when the demands of work have taken me from the duties of fatherhood. There were many days out on the campaign trail when I felt like my family was a million miles away, and I knew I was missing moments of my daughters’ lives that I’d never get back. It is a loss I will never fully accept.

But on this Father’s Day, I think back to the day I drove Michelle and a newborn Malia home from the hospital nearly 11 years ago—crawling along, miles under the speed limit, feeling the weight of my daughter’s future resting in my hands. I think about the pledge I made to her that day: that I would give her what I never had—that if I could be anything in life, I would be a good father. I knew that day that my own life wouldn’t count for much unless she had every opportunity in hers. And I knew I had an obligation, as we all do, to help create those opportunities and leave a better world for her and all our children.

On this Father’s Day, I am recommitting myself to that work, to those duties that all parents share: to build a foundation for our children’s dreams, to give them the love and support they need to fulfill them, and to stick with them the whole way through, no matter what doubts we may feel or difficulties we may face. That is my prayer for all of us on this Father’s Day, and that is my hope for this nation in the months and years ahead.

http://blackcelebritykids.files.wordpress.com/2008/05/may4thindianaobama.jpg


LAMPIRAN (SURAT PRESIDEN OBAMA KEPADA KEDUA PUTERINYA, MALIA & SASHA) :



Dear Malia and Sasha,

I know that you’ve both had a lot of fun these last two years on the campaign trail, going to picnics and parades and state fairs, eating all sorts of junk food your mother and I probably shouldn’t have let you have. But I also know that it hasn’t always been easy for you and Mom, and that as excited as you both are about that new puppy, it doesn’t make up for all the time we’ve been apart. I know how much I’ve missed these past two years, and today I want to tell you a little more about why I decided to take our family on this journey.

When I was a young man, I thought life was all about me—about how I’d make my way in the world, become successful, and get the things I want. But then the two of you came into my world with all your curiosity and mischief and those smiles that never fail to fill my heart and light up my day. And suddenly, all my big plans for myself didn’t seem so important anymore. I soon found that the greatest joy in my life was the joy I saw in yours. And I realized that my own life wouldn’t count for much unless I was able to ensure that you had every opportunity for happiness and fulfillment in yours. In the end, girls, that’s why I ran for President: because of what I want for you and for every child in this nation.

http://blindie.com/wp-content/uploads/2008/11/malia_sasha_obama-326x400.jpg

I want all our children to go to schools worthy of their potential—schools that challenge them, inspire them, and instill in them a sense of wonder about the world around them. I want them to have the chance to go to college—even if their parents aren’t rich. And I want them to get good jobs: jobs that pay well and give them benefits like health care, jobs that let them spend time with their own kids and retire with dignity.

I want us to push the boundaries of discovery so that you’ll live to see new technologies and inventions that improve our lives and make our planet cleaner and safer. And I want us to push our own human boundaries to reach beyond the divides of race and region, gender and religion that keep us from seeing the best in each other.

Sometimes we have to send our young men and women into war and other dangerous situations to protect our country—but when we do, I want to make sure that it is only for a very good reason, that we try our best to settle our differences with others peacefully, and that we do everything possible to keep our servicemen and women safe. And I want every child to understand that the blessings these brave Americans fight for are not free—that with the great privilege of being a citizen of this nation comes great responsibility.

http://celebrityworld.today.com/files/2008/11/sasha-and-malia-obama.jpg

That was the lesson your grandmother tried to teach me when I was your age, reading me the opening lines of the Declaration of Independence and telling me about the men and women who marched for equality because they believed those words put to paper two centuries ago should mean something.

She helped me understand that America is great not because it is perfect but because it can always be made better—and that the unfinished work of perfecting our union falls to each of us. It’s a charge we pass on to our children, coming closer with each new generation to what we know America should be.

I hope both of you will take up that work, righting the wrongs that you see and working to give others the chances you’ve had. Not just because you have an obligation to give something back to this country that has given our family so much—although you do have that obligation. But because you have an obligation to yourself. Because it is only when you hitch your wagon to something larger than yourself that you will realize your true potential.

http://images.watoday.com.au/2009/06/05/557220/article400_obama_daughters-420x0.jpg

These are the things I want for you—to grow up in a world with no limits on your dreams and no achievements beyond your reach, and to grow into compassionate, committed women who will help build that world. And I want every child to have the same chances to learn and dream and grow and thrive that you girls have. That’s why I’ve taken our family on this great adventure.

I am so proud of both of you. I love you more than you can ever know. And I am grateful every day for your patience, poise, grace, and humor as we prepare to start our new life together in the White House.

Love,
Dad
http://assets.nydailynews.com/img/2009/04/30/gal_obama_06.jpg

Catatan Kecil Pada Perayaan “Father’s Day”, My Daddy Is My Hero !

Tulisan Suciwati, MUNIR CAHAYA YANG TAK PERNAH PADAM


  • Munir

    Oleh : SUCIWATI, Isteri Alm. Munir.

    BAGIAN PERTAMA

  • “Kenapa Abah dibunuh, Bu?” Mulut mungil itu tiba-tiba bersuara bak godam menghantam ulu hatiku. Gadis kecilku, Diva Suukyi, saat itu masih 2 tahun, menatap penuh harap. Menuntut penjelasan.

    Suaraku mendadak menghilang. Airmataku jatuh. Sungguh, seandainya boleh memilih, aku akan pergi jauh. Tak kuasa aku menatap mata tanpa dosa yang menuntut jawaban itu. Terlalu dini, sayang. Belum saatnya kau mengetahui kekejian di balik meninggalnya ayahmu, suamiku, Munir. Seolah tahu lidah ibunya kelu, Diva memelukku. Tangan kecilnya melingkari tubuhku. ”Ibu jangan menangis…Jangan sedih,” kata-kata itu terus mengiang di telingaku.

    Pada 7 September 2004, sejarah kelam itu tertoreh. Munir, suami dan ayah dua anakku –Alif Allende (10) dan Diva Suukyi (6)—meninggal. Siang itu, pukul 2.

    Usman Hamid dari KontraS menelepon ke rumah. “Mbak Suci ada di mana?” Firasatku langsung berkata ada yang tidak beres. Pasti ada hal yang begitu besar terjadi sampai Usman begitu bingung. Jelas dia menelepon ke rumah, kok masih bertanya aku di mana.

    Benar saja. Tergagap Usman bertanya, “Mbak, apa sudah mendengar kabar bahwa Cak Munir sudah meninggal?”

    Tertegun aku mendengarnya. Seolah aku berada di awang-awang dan kemudian langsung dibanting ke tanah dengan keras. Kehidupan seolah berhenti. Seseorang yang menjadi bagian jiwaku, nyawaku, telah tiada. Kegelapan itu mencengkeram dan menghujamku dalam duka yang tak terperi.

    Nyatakah ini? Air mata membanjir. Tubuhku limbung. Perlu beberapa saat bagiku untuk mengumpulkan tenaga dan akal sehat. Aku harus segera mencari informasi tentang Munir. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada dia?

    Begitu kesadaranku hadir, segera kutelepon berbagai lembaga seperti Imparsial dan kantor Garuda di Jakarta dan di Schipol (Belanda). Begitu pula teman-teman Munir di Belanda. Aku segera mencari kabar lebih lanjut dari kawan-kawan aktivis. Tak ada yang bisa memberikan keterangan memuaskan.

    Orang-orang mulai berdatangan untuk menyampaikan bela sungkawa. Aku masih sibuk mencari informasi kesana-kemari. Sebagian diriku masih ngeyel, berharap berita itu bohong semata. Aku hanya akan percaya jika melihat langsung jenazah almarhum.

    Pada tragedi ini, pihak Garuda amat tidak bertanggungjawab. Tiga kali aku menelepon kantor mereka di Jakarta, tapi tak satu pun keterangan didapat. Mereka bahkan bilang tidak tahu-menahu soal kabar kematian Munir. Sungguh menyakitkan, pihak maskapai penerbangan Garuda harusnya yang paling bertanggungjawab tidak sekali pun menghubungiku untuk memberi informasi. Padahal, Munir meninggal di pesawat Garuda 974.

    Kantor Garuda di Schipol pun sama saja. Pada telepon ketiga, dengan marah aku menyatakan berhak mendapat kabar yang jelas menyangkut suamiku. Barulah informasi itu datang. Yan, nama karyawan Garuda itu, menjelaskan bahwa memang Munir telah meninggal dan dia menyaksikan secara langsung. Yan bahkan berpesan jangan sampai orang mengetahui kalau dia yang memberi kabar itu kepadaku. Ah, apa pula ini? Tuhan, beri aku kekuatan-Mu.

    Aku hanya bisa menangis. Si sulung Alif, saat itu baru 6 tahun, melihatku dengan sedih dan ikut menangis. Diva terus bertanya dalam ketidak mengertiannya, “Kenapa Ibu menangis?” Aku merasa seolah jauh dari dunia nyata. Kosong.

    Jiwaku hampa. Saat itu, dengan kedangkalanku sebagai manusia, sejuta pertanyaan dan gugatan terlontar kepada Tuhan. “Kenapa bukan aku saja yang Engkau panggil, Ya Allah? Mengapa harus dia? Mengapa dengan cara seperti ini? Mengapa harus saat ini? Mengapa? Ya Allah, Kau bole

    h ambil nyawaku,hamba siap menggantikannya. Dia masih sangat kami butuhkan, negara ini butuh dia.”

    Rumah tiba-tiba dibanjiri manusia. Teman, kerabat, tetangga berdatangan. Bunga berjajar dari ujung jalan sampai ujung satunya. Alif bertanya, “Kenapa bunga itu tulisannya turut berduka cita untuk Abah?” Anakku, aku peluk dia, kukatakan bahwa Abah tidak akan pernah kembali lagi dari Belanda. Abah telah meninggal dan kita tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.

    Alif menangis dan protes, “Bukannya Abah hanya sekolah? Bukannya Abah akan pulang Desember? Kenapa kita tidak akan ketemu lagi?” Amel, guru yang selama ini melakukan terapi untuk Alif yang cenderung hiperaktif, segera menggendong dan membawa Alif keluar. Maafkan, Nak. Aku tak berdaya bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaanmu. Aku tidak mampu.

    Teman-teman dari berbagai lembaga juga datang. Antara lain dari Kontras, Imparsial, Infid, HRWG, dan banyak lagi yang tak mungkin aku mengingatnya satu persatu. Semua tumpah ruah.

    Puluhan wartawan juga datang, tapi aku tak mau diwawancarai mereka. Biarlah kesedihan ini mutlak jadi milikku. Meskipun aku yakin bahwa keluarga korban yang selama ini didampingi almarhum pasti tidak kalah sedih. Sebagian mereka datang dan histeris menangisi kehilangan Munir.

    PADA 8 September 2004, aku menjemput jenazah suamiku. Bersama Poengky dan Ucok dari Imparsial, Usman dari KontraS, dan Rasyid kakak Munir, aku berangkat ke Belanda. Ya Tuhan, beri aku kekuatan-Mu, begitu doaku sepanjang perjalanan.

    Di ruang Mortuarium Schipol, jasad Munir terbujur kaku. Kami tiada tahan untuk tidak histeris. Usman melantunkan doa-doa yang membuat kami tenang kembali.

    Sejenak aku ingin hanya berdua dengan suami tercintaku. Aku meminta teman-teman keluar dari ruangan. Aku pandangi Munir dalam derai air mata. Tak tahu lagi apa yang kurasakan saat itu. Sedih, hampa, kosong.

    Lalu, kupegang tangannya. Kupandangi dia. Teringat saat-saat indah ketika kami bersama. Tiba-tiba ada rasa lain yang membuat aku menerima kenyataan ini. Aku harus merelakan kepergiannya. Doa-doa kupanjatkan. Ya Allah, berilah suamiku tempat terhomat disisi-Mu. Amien.

    Suciwati

    Di Batu, 12 September 2004, kota kelahirannya, Munir disemayamkan. Pelayat seolah tiada habisnya datang. Handai taulan, sahabat, teman-teman buruh, petani, mahasiswa, aktivis, wartawan semua ada. Banyak yang tidak tidur menunggu esok hari, saat pemakaman Munir. Umik, ibu Munir, begitu sedih. Aku bahkan tak sanggup melihat kesedihan yang membayang di wajahnya.

    Hari itu, masjid terbesar di Batu, tempat Munir disholati, tidak sanggup menampung semua yang hadir. Perlu antre bergantian untuk sholat jenazah. Kota Batu yang selama ini sepi mendadak dipadati manusia. Melimpahnya “tamu” Munir ini bagai suntikan semangat bagiku. Bahwa ternyata bukan aku dan keluarga saja yang merasakan kedukaan ini. Dukungan yang mereka berikan membuatku kuat.

    Seperti menanam sesuatu maka kamu akan memanennya,itulah yang aku buktikan hari ini. Aku melihat yang dilakukan Munir selama ini membuktikan apa yang dia perbuat.

    Munir selalu mencoba berjuang bagi tegaknya keadilan dan perdamaian. Dia berteriak lantang menyuarakan keadilan bagi korban, baik di Aceh,Papua,Ambon dan dimana saja. Keberanian dan sikap kritisnya terhadap penguasa memang harus dibayar mahal oleh nyawanya sendiri dan juga oleh keluarga yang ditinggalkannya ‘anak dan istrinya’.

    TAK MUDAH bagiku mencerna kehilangan ini. Perlu proses untuk menerima, mengikhlaskan kepergian Munir, dan menerima bahwa ini adalah kehendakNya. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka siapa pun dan dengan cara apa pun tidak akan mampu mengelak. Keyakinan bahwa hidup-mati manusia adalah kehendak-Nya itu membuat aku bangkit lagi.

    Munir adalah manusia, sama sepertiku dan yang lainnya, yang bisa mati. Kemarin, sekarang atau besok, itu hanya persoalan waktu. Sakit, diracun, atau ditembak itu hanya persoalan cara. Kematian adalah keniscayaan. Suka atau tidak suka, kita tetap harus menghadapinya. Dan kehidupan tidak berhenti. Air mata kepedihan tidak akan pernah mengembalikannya.

    Sepenggal doa Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW, membuatku bertambah yakin bahwa aku harus bangkit:

    “Ketika kumohon kekuatan, Allah memberiku kesulitan agar aku menjadi kuat. Ketika kumohon kebijaksanaan, Allh memberiku masalah untuk kupecahkan. Ketika kumohon kesejahteraan, Allah memberikan aku akal untuk berpikir. Ketika kumohon keberanian, Allah memberiku kondisi bahaya untuk kuatasi. Ketika kumohon sebuah cinta, Allah memberiku orang-orang bermasalah untuk kutolong. Ketika kumohon bantuan, Allah memberiku kesempatan. Aku tidak pernah menerima apa yang kupinta, tapi aku menerima segala yang kubutuhkan.”

    Kucoba untuk merenung. Kuteguhkan hati bahwa ini bukan sekedar takdir, tapi ada misteri yang menyelubungi. Misteri yang harus diungkap. Aku harus berbuat sesuatu. Bersyukur, aku tidak sendirian dalam kedukaan ini. Banyak teman-teman yang peduli kepada kami sekeluarga.

  • BAGIAN KEDUA

  • DUA bulan kemudian, tepatnya 11 November 2004, Rachland dari Imparsial menghubungiku. Dia mengabarkan ada wartawan dari Belanda ingin mewawancarai. Dia juga bertanya, apakah aku sudah mengetahui hasil otopsi yang dilakukan pihak Belanda terhadap almarhum Munir. Hasil otopsi itu kabarnya diserahkan kepada pemerintah Indonesia melalui Departemen Luar Negeri.

    Aku berharap teman-teman memiliki jaringan ke Departemen Luar Negeri. Tapi, rupanya tidak. Aku pun menelepon 108 –nomor informasi—untuk meminta nomer telepon kantor Departemen Luar Negeri.

    Teleponku ditanggapi seperti ping-pong. Dioper sana-sini. Sampai akhirnya aku berbicara via telepon dengan Pak Arizal. Dia menjelaskan bahwa semua dokumen otopsi telah diserahkan kepada Kepala Polri, dengan koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.

    Entah, keberanian dari mana yang menyusup dalam diriku pada waktu itu. Aku tanpa ragu menghubungi dan berbicara dengan mereka, semua pejabat itu. Kebetulan, semua nomor telepon pejabat-pejabat penting itu terekam dalam telepon genggam suamiku.

    Kepada para petinggi itu, aku bertanya, “Kenapa aku sebagai orang terdekat almarhum tidak diberitahu tentang otopsi? Apa yang terjadi padanya? Apa hasilnya?” Mereka tidak memberikan jawaban. Padahal, sebagai istri korban, aku memiliki hak yang tak bisa diabaikan begitu saja.

    Pukul 10.00 malam, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Pak Widodo AS meneleponku. Menurut dia, hasil otopsi telah diserahkan kepada Kepala Bagian Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Pak Suyitno Landung, Markas Besar Polri. Malam itu juga aku menelepon Kabareskrim. Aku meminta bertemu dengan dia esok paginya.

    Bersama Al Ar’af dari Imparsial,dan Usman Hamid dari KontraS, Binny Buchori dari Infid, Smita dari Cetro dan beberapa kawan, esok paginya tanggal 12 November 2004 aku mendatangi kantor Kabareskrim.

    Pagi itu aku menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Benarlah dugaanku bahwa ada yang aneh pada kematian Munir. Hasil otopsi itu menjelaskan dengan gamblang bahwa kematian almarhum adalah lantaran racun arsenik. Racun itu ditemukan di lambung, urine, dan darahnya. Ternyata dia memang dibunuh…!

  • KELUAR dari Mabes Polri, kami sudah diserbu wartawan. Siaran pers pun digelar bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di kantor KontraS.

    Isinya, mendesak pemerintah untuk segera melakukan investigasi, menyerahkan hasil otopsi kepada keluarga, dan membentuk tim penyelidikan independen yang melibatkan kalangan masyarakat sipil. Desakan serupa dikeluarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat di berbagai daerah. Desakan yang ditanggapi dengan janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

    Tak lama pula kami membentuk KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Banyak organisasi dan individu yang punya komitmen akan pengungkapan kasus ini bergabung. Ini memang bukan hanya persoalan kematian seorang Munir. Lebih dari itu, ini persoalan kemanusiaan yang dihinakan dan kita tidak mau ada orang yang diperlakukan sama seperti dia hanya karena perbedaan pikiran.

    Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun sepakat untuk meminta pemerintah membentuk tim independen kasus Munir. DPR juga mendesak pemerintah segera menyerahkan hasil autopsi kepada keluarga almarhum. Pada November 2004, DPR membentuk tim pencari fakta untuk mengusut kasus pembunuhan Munir.

    PADA 24 November 2004, Presiden Yudhoyono bertemu denganku. Teman-teman dari Kontras, Imparsial, Demos menemaniku bertemu Presiden. Satu bulan kemudian tepatnya tanggal 23 Desember 2004 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden untuk pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang dipimpin oleh Brigjen pol. Marsudi Hanafi.

    Tim ini, di luar dugaan, bekerja efektif menemukan kepingan-kepingan puzzle siapa dibalik pembunuhan Munir. Fakta-fakta temuan tim ini cukup mencengangkan. Fakta yang menunjukkan benang merah pembunuhan keji penuh konspirasi dan penyalahgunaan kekuasaan serta kewenangan di Badan Intelejen Nasional (BIN). Sayangnya TPF tidak diperpanjang lagi setelah dua kali(6 bulan)masa kerjanya.

    Adalah Pollycarpus, pilot Garuda, benang merah yang mengurai jaring laba-laba kebekuan dan kerahasiaan yang melingkupi BIN. Polly, sebuah nama yang sangat melekat dibenakku. Sangat dalam maknanya dalam perjalanan menguak kebenaran siapa dibalik kematian Munir, suamiku.

    Dia adalah orang yang menelepon suamiku dua hari sebelum berangkat ke Belanda. Polly menanyakan jadwal keberangkatan suamiku dan dia mau mengajak berangkat bersama. Kebetulan waktu itu aku yang menerima telepon itu. Jika tidak, barangkali aku tidak akan pernah tahu keberadaan Polly. Munir mengatakan Polly adalah orang aneh dan sok akrab. “Dia itu orang tidak dikenal tapi tiba-tiba menitipkan surat untuk diposkan di bandara setempat ketika aku hendak ke Swiss,” begitu kata Munir

    Terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sang pilot tidak hanya menerbangkan pesawat. Dia adalah orang yang mempunyai hubungan dengan agen BIN seperti halnya Mayor Jenderal TNI Muchdi PR, Deputi V BIN. Polly disebut sebagai agen non organik BIN yang langsung berada di bawah kendali Muchdi. Berkas dakwaan tersebut juga menyebut adanya pembunuhan berencana terhadap Munir.

    Tercatat pula dalam berkas dakwaan untuk Muchdi PR, keduanya –Polly dan Muchdi—berhubungan intensif melalui telepon. Paling tidak 41 kali hubungan telepon antara Muchdi dan Polly yang terjadi menjelang, saat dan sesudah tanggal kematian Munir. Bisa diduga, keduanya berhubungan terkait dengan perencanaan, eksekusi, dan pembersihan jejak.

  • KAMI, aku dan teman-teman KASUM, juga melakukan investigasi. Kami berusaha memetakan jejak sang pilot. Melalui berbagai penelusuran, terungkap bahwa Pollycarpus memiliki hubungan dengan para pejabat BIN. Sosok satu ini diketahui berada di berbagai daerah titik panas seperti Papua, Timor Leste, dan Aceh. Sebuah fakta yang tidak biasa dalam dunia profesi pilot.

  • Polly sendiri, dalam persidangan, mengaku bahwa dia pernah tinggal cukup lama di Papua. Katanya, dia bertugas sebagai pilot misionaris sebelum bekerja di Garuda. Mungkin kebetulan, mungkin juga tidak, keberadaan Polly di Papua ternyata bersamaan dengan Muchdi PR yang waktu itu menjadi Komandan KODIM 1701 Jayapura pada tahun 1988-1993. Lalu, Muchdi menjadi Kasrem Biak 173/ 1993-1995. Melihat rekam jejak ini, patut diduga, pada periode itulah perkenalan pertama sang pilot dengan sang jenderal.

    Indra Setiawan, saat itu menjabat Direktur Utama Garuda, mengakui mengingat nama Pollycarpus karena khas dan unik. Pada 22 November 2004, ketika kami meminta keterangan kepada Indra,

    Aku: Apakah ada yang namanya Polly di Garuda?
    Indra (menjawab dengan cepat) : Oh ya. Ada. Namanya Pollycarpus.
    Aku : Bapak kok hafal padahal karyawan bapak lebih dari 7000 ?
    Indra : Ya, soalnya namanya khas dan unik. Kalau namanya Slamet, saya pasti lupa.

    Belakangan, dalam persidangan, baik sebagai saksi atau pun ketika ditetapkan sebagai terdakwa pada tahun 2007, terungkap bahwa Indra mengingat Polly karena alasan khusus. Alasan yang berkaitan dengan BIN. Polly merangkap pilot dan bagian pengamanan penerbangan (aviation security) atas permintaan BIN. Sebuah alasan yang masuk akal. Jika BIN yang meminta, kendati tidak benar secara prosedur, maka pihak Garuda tidak bisa menolak.

    BIN mengeluarkan permintaan tersebut dalam surat yang ditandatangani Wakil Kepala BIN As’ad Said Ali. Pada saat itu Kepala BIN dijabat oleh Hendropriyono –sosok yang selama ini sangat dekat dengan berbagai kasus yang diadvokasi almarhum.

    Surat yang diteken As’ad patut diduga menjadi petunjuk bahwa rencana pembunuhan Munir melibatkan para petinggi BIN, bukan hanya Muchdi , tapi juga Hendropriyono. Apalagi, sesuai pengakuan agen BIN Ucok alias Empi alias Raden Patma dalam persidangan Peninjauan Kembali, Deputi II Manunggal Maladi dan Deputi IV Johannes Wahyu Saronto BIN juga diduga terlibat.

  • Irjen YWS yang ditulis Suciwati dalam tulisannya sebagai orang yang patut dapat diduga ikut terlibat dalam rencana MEMBUNUH Munir


    BAGIAN KETIGA

    SERANGKAIAN persidangan kasus pembunuhan Munir begitu melelahkan. Tak hanya secara fisik tetapi juga secara mental. Betapa tidak, pada tingkat Mahkamah Agung, Pollycarpus hanya dihukum dua tahun. Polly hanya dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan surat, bukan pembunuhan. Semua ini tentu merupakan pukulan sendiri buatku.

    Jantungku sakit sekali ketika aku mendengar putusan untuk Polly. Aku merasa kehilangan untuk yang kedua kalinya, kehilangan Munir dan kehilangan keadilan itu sendiri.

    Bagaimana mungkin fakta-fakta yang begitu mencolok diabaikan begitu saja oleh hakim-hakim itu? Bagaimana mungkin keadilan hukum bisa kuraih jika dipenuhi oleh manusia tanpa hati nurani?

    Dua dari tiga hakim yang membebaskan Pollycarpus dari dakwaan pembunuhan itu memiliki latar belakang sebagai tentara. Keduanya adalah purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir mayor jenderal. Tak heran, beberapa pihak menduga, ada semangat korps dalam menangani kasus ini yang menguntungkan Pollycarpus.

    Kesedihan sama sekali tidak membuatku surut. Aku yakin pasti masih banyak aparat penegak hukum mempunyai hati nurani. Masih banyak yang peduli pada keadilan dan kebenaran. Ini terbukti dalam putusan pengadilan kasasi pada tanggal 25 Januari 2008 Polycarpus dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun atas dakwaan pembunuhan berencana dan pemalsuan surat tugas.

    Selesai? Belum. Misteri pembunuhan Munir masih jauh dari terungkap. Terungkap dari persidangan, juga keputusan pemidanaan Polly, ada mesin intelejen yang bekerja dengan jahat menghabisi nyawa Munir. Ini jauh lebih penting ketimbang sekadar menghukum Polly. Dia hanya pelaku lapangan, bukan orang yang secara sistematis menggunakan kekuasaan dan kewenangan dalam melakukan pembunuhan ini.

    Tragisnya, sampai hari ini proses meraih kebenaran dan keadilan siapa di balik pembunuhan Munir masih terseok-seok. Tabir misteri belum tersingkap.

    Benar, ada perkembangan baru dengan ditangkapnya Muchdi Purwopranjono 19 Juni 2008. Jenderal bintang dua ini diduga kuat berada di balik pembunuhan Cak Munir. Saat ini proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sedang berlangsung untuk membuktikan dugaan tersebut.

    Yah, aku berharap persidangan ini berlangsung adil. Kejahatan para pelaku pelanggar HAM selayaknya dibawa ke pengadilan. Namun, kecemasan selalu hadir. Adakah keadilan akan berpihak kepadaku?

    Aku berharap masih ada jaksa dan hakim handal yang mengedepankan hati nurani ada di pengadilan ini. Tentu saja aku juga berharap pelaku sesungguhnya juga segera ditangkap, siapa pun dia.

    PERJALANAN meraih keadilan begitu berliku. Satu hal yang paling aku syukuri adalah begitu banyak sahabat yang mendukung perjuangan pencarian keadilan ini. Teman-teman di KASUM dan tak sedikit sahabat yang secara pribadi memberiku kekuatan untuk terus berjuang.

    Tak jarang teror hadir. Ada ancaman datang dari mereka yang ingin memadamkan pencarian keadilan ini. Bahkan statusku sebagai ibu juga menjadi bagian empuk untuk diserang oleh mereka. Syukurlah, di saat-saat begini, sahabat-sahabatku setia mendampingi dan menguatkanku.

    Desakan penuntasan kasus Munir dari dalam negeri cukup kuat. Pada 7 Desember 2006, Tim Munir DPR RI mengeluarkan rekomendasi agar Presiden membentuk Tim Pencari Fakta yang baru. Berbagai kelompok masyarakat sipil pun terus mempertanyakan kasus Munir. Mereka datang dari berbagai kalangan, antara lain LSM, akademisi, petani, buruh, seniman,wartawan dan berbagai profesi lainnya.

    Tak hanya dari dalam negeri, dukungan juga datang dari segala penjuru dunia. Pada 9 November 2005, misalnya, 68 anggota Kongres Amerika Serikat mengirimkan surat kepad

    a Presiden Yudhoyono agar segera mempublikasikan laporan TPF. Anggota Kongres AS tersebut mempertanyakan keseriusan pemerintah Indonesia dalam menuntaskan kasus Munir.

    Pada September 2006, saat KTT ke-6 ASEM (The Asia-Europe Meeting) di Helsinki, Finlandia, kasus Munir menjadi salah satu sorotan peserta. Presiden Komisi Eropa Jose Manuel Barroso, peserta penting dalam konferensi tersebut, mempertanyakan kelanjutan pengusutan kasus Munir langsung kepada Presiden Yudhoyono.

    Philip Alston, UN Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions, juga telah menyatakan kesediaannya untuk ikut membantu pemerintah Indonesia dalam mengusut kasus Munir.

    Pelapor khusus, yakni Hina Jilani (Human Rights Defender) dan Leandro Despouy (Kemandirian Hakim dan Pengacara), juga telah menyatakan keprihatinan akan kasus Munir di hadapan Dewan Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa.

    Pada 26 Februari 2008, Deklarasi Parlemen Uni Eropa meminta pemerintah Indonesia serius dalam menuntaskan kasus Munir. Bahkan, 412 anggota parlemen yang menandatangani deklarasi ini meminta Uni Eropa memonitor kasus ini sampai tuntas.

    Mengalirnya dukungan tersebut mestinya membuat pemerintah tidak usah ragu. Siapa pun di balik kekejian ini harus diungkap, tak peduli jika penjahatnya itu adalah orang kuat.

    Dukungan bagi pemerintah telah mengalir, secara hukum dan politik. Tinggal perintah dari sang presiden untuk memastikan kepolisian tetap bekerja mengusut kasus ini sampai terungkapnya sang aktor utama. Presiden juga hanya perlu memerintahkan Jaksa Agung untuk bekerja profesional. Hanya itu….

    Presiden Yudhoyono pernah menyatakan bahwa pengusutan kasus pembunuhan Munir adalah ujian bagi sejarah bangsa. “Test of our history,” kata Pak Presiden.

    Jadi, aku,rakyat Indonesia dan komunitas internasional menunggu bukti perkataan itu. Aku menunggu pengusutan misteri ini sampai pada aktor utamanya, bukan hanya aktor pinggiran saja. Negara harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang telah terjadi.

    BAGIKU, Munir adalah cahaya yang tidak pernah padam. Kesan ini semakin mendalam terasa setelah kepergiannya. Munir beserta semangatnya telah memecahkan ketakutan yang mencekam, menciptakan budaya demokrasi, memberi harapan penegakan HAM. Semua yang Munir lakukan menjadi inspirasi bagiku dan teman-teman penggerak demokrasi di negeri ini. Niscaya, semangat itu diteruskan oleh para pencinta keadilan dan kebenaran dengan tanpa henti.

    Ya Allah, aku bukan Sayidina Ali yang Kau beri kemuliaan. Aku hanya manusia biasa dan aku memohon kepadaMu sebab aku meyakiniMu. Berilah kemudahan bagi kami untuk mengungkap pembunuhan ini. Beri kami kekuatan untuk menjadikan kebenaran sebagai kebenaran sesuai perintahMu. Menjadikan keadilan sebagai tujuanku seperti tujuan menurutMu.

    Ya Allah, aku tidak menjadi manusia yang lebih dari yang lain dengan berbagai ujian yang Kau berikan, seperti Kau muliakan Nabi Muhammad dengan berbagai ujianMu. Aku hanya minta menjadi manusia biasa dan dapat mengungkap kasus ini. Amin.

    Bekasi, September 2008.

    (Tamat)

    LAMPIRAN (BERITA YANG DIMUAT DI WWW.KOMPAS.COM )

    http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/25/11182561/santet.jadi.alternatif.bunuh.munir

    SANTET JADI ALTERNATIF BUNUH MUNIR
    Kamis, 25 September 2008 | 11:18 WIB

    JAKARTA, KAMIS — Santet ternyata menjadi salah satu cara atau intrik yang akan digunakan untuk membunuh aktivis HAM Munir pada tahun 2004. Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan pembunuhan Munir dengan terdakwa Muchdi Pr di PN Jakarta Selatan, Kamis (25/9/2008), dari kesaksian aktivis Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Henda

    rdi.

    Alternatif intrik ini merupakan petunjuk dari dokumen yang diperoleh Tim Pencari Fakta (TPF) Munir sekitar tahun 2005. Menurut Hendardi, dokumen tersebut diterima Ketua TPF Marsudi Hanafi. Namun, mereka tidak mengetahui dari siapa dokumen tersebut berasal.

    Dokumen tersebut merupakan hasil tulisan seseorang atau sejumlah orang yang tidak diketahui mengenai skenario pembunuhan yang akan dipakai untuk membunuh Munir. Skenario tersebut memuat pengetahuan dan analisis orang-orang tersebut mengenai siapa yang terlibat, tempat dan waktu pertemuan, perencanaan cara dan intrik alternatif pembunuhan dilangsungkan.

    Di dalamnya juga memuat nama target lain selain Munir serta eksekutornya, tapi Hendardi mengaku lupa. “Tapi karena terakhir masa TPF tak kami jadikan data primer,” ujar Hendardi.

    Selain intrik pembunuhan dengan santet, intrik pembunuhan dengan racun juga tercantum di dalamnya. Bahkan dituliskan telah dicobakan kepada hewan hingga hewan itu mati.


    TULISAN KE-2 :

    Ya Ampun, Busyet Deh, Ternyata Oknum Pejabat INTELIJEN Yang Patut Dapat Diduga Terlibat Dalam Kasus Munir Itu Kaya Buangettttt !!!

    YWS Kalibata
    YWS Kalibata

    JAKARTA (KATAKAMI) Rabu (11/3/2009) ini, bertepatan dengan peringatan SUPERSEMAR atau Surat Perintah Sebelas Maret, ada sesuatu yang sangat mengejutkan kami sebagai wartawan.

    Gila, oknum pejabat intelijen yang kami beberkan disini ternyata kaya raya luar biasa ! Ya ampun ! Minta ampun ! Ternyata di tengah krisis ekonomi seperti ini, orang yang TAJIR alias kayar raya buanyak juga ya ?

    Ceritanya, alternatif untuk bisa menyemarakkan suasana di pagi hari sambil menikmati sarapan yang “hangat-hangat” maka kami memilih pergi sebuah salon yang terletak di kawasan Pejompongan Jakarta Pusat.

    Pemiliknya kami kenal baik sekali. Kami berkenalan sekitar 11 tahun lalu karena kami sempat tinggal tidak jauh dari salon itu. Letaknya memang bukan di Mal mewah. Tapi pelanggan salon ini, rata-rata artis, ibu pejabat, isteri pejabat, polwan, jaksa, mantan pejabat, isteri mantan pejabat, anggota DPR, apa saja latar-belakangnya ada.

    Dan kami sengaja ke sana Rabu pagi tadi karena ingin mengetahui lebih jauh mengenai oknum pejabat intelijen tadi.

    Setelah memesan semangkok bakso yang memang sangat lezat sekali buatan salon itu, sang pemilik salon duduk ngobrol dengan KATAKAMI.COM selama 2 jam lebih. Dan fokus utama pembicaraan memang kami arahkan tentang kehidupan oknum pejabat intelijen tadi.

    Pemilik salon yang sangat cantik dan ramah ini sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh isteri dari si oknum pejabat intelijen tadi. Setiap kali berkunjung ke DI Yogyakarta maka si pemilik salon akan menginap di rumah si oknum intelijen.

    Dan setiap berkunjung ke Palangkaraya (Ka

    limantan Tengah) untuk memenuhi undangan sahabat dekat keluarga si oknum pejabat yang “akrab” dengan wartawati senior dari sebuah harian terkemuka ini, maka si pemilik salon tadi juga menginap di rumah yang sama.

    *****

    “Bagaimana kabarnya Bu Wahyozz (nama samaran, redaksi), Mbak ?” tanya KATAKAMI kepada sang pemilik salon Rabu pagi tadi.

    “Baik Mbak, 2 minggu lalu kan ke sini untuk pedicure dan manicure. Katanya Bapak lagi ada rapat di DPR jadi ibu ikut menemani ke Jakarta. Khan Bapak khan tidak setiap hari di Jakarta. Kalau ada rapat penting atau ada panggilan tertentu saja datangnya” jawab si Pemilik Salon.

    “Lho, kok bisa, khan Bapak itu pejabat ESELON I di lembaga intelijen itu, enak betul ada pejabat yang tidak ngantor setiap hari. Masih menajabat atau sudah dicopot sih ?” pancing KATAKAMI.

    “Masih menjabat Mbak, ya memang dari dulu begitu. Ke Jakarta kalau ada rapat saja. Selebihnya ya di Jogjayakarta,” jawabnya lagi.

    Begitulah obrolan pembuka kami. Kami mendengarkan dengan seksama sambil menikmati bakso yang lezat tadi.

    Dan bagaikan tersengat aliran listrik, kami sangat terkejut saat diceritakan soal kekayaan si pejabat.

    Bayangkan, si oknum pejabat itu tinggal di sebuah rumah mewah yang didirikan di atas tanah seluas 1000 meter. Persis di sebelahnya, didirikan bisnis pijat refleksi diatas tanah lainnya seluas 600 meter. Kemudian persis di seberang bisnis pijat refleksi tadi, didirikan juga sebuah restoran diatas tanah sekitar 1000 meter lainnya.

    Dan di kota Jogjakarta, sang isteri punya 2 bisnis restoran lagi yang didirikan di atas tanah yang sama luasnya dengan restoran pertama yaitu restoran dengan menu Manado dan menu Jawa. Ini dua restoran yang berbeda.

    Selain itu, oknum pejabat ini juga mempunyai bisnis kos-kosan untuk mahasiswa sebanyak 200 kamar yang didirikan di atas tanah ribuan meter juga di dekat sebuah perguruan tinggi terkemuka.

    Belum termasuk tanah dan rumah lainnya yang rata-rata selebar tanah yang dimiliki di rumah utama. Aset tambahan yang berjibun untuk urusan tanah dan rumah ini, diberikan untuk anak-anaknya. Dari 4 anak, 1 tinggal di Malang dan 3 di Yogyakarta.

    Begitu juga di kota Malang, oknum pejabat ini punya restoran yang didirikan di atas tanah ribuan meter. Lalu beberapa rumah juga menjadi aset mereka di kota Malang.

    Ternyata koleksi tanahnya tak cuma di Pulau Jawa.

    Di Palangkaraya, oknum pejabat ini sempat memiliki tanah seluar 12 ribu meter. Tanah yang berdekatan dengan Bandar Udara disana, sudah dijual kepada seorang pengusaha. Ternyata dahulu kala, oknum pejabat ini sempat bertugas di salah satu jajaran Kepolisian yang ada di bawah struktur Polda Kalteng.

    Dan coba tebak berapa mobil yang stand by di rumah oknum pejabat ini yang terletak di Jogjakarta tadi ?

    Ilustrasi GAMBAR MOBIL ALPHARD
    Ilustrasi GAMBAR MOBIL ALPHARD

    Khusus untuk digunakan pasutri TAJIR ini, ada 8 mobil mewah yang stand by. Diantaranya adalah mobil ALPHARD terbaru, Land Cruiser, sedan-sedan mewah dengan total mobil di rumah itu saja ada 8 unit.

    Itupun ada 2 mobil yang tidak bisa lagi ditempung didalam garasi rumah sehingga 2 dari 8 mobil mewah itu diparkir di halaman rumah mereka.

    Ternyata, kami harus mengakui bahwa sebagai wartawan yang hidup sederhana, mendengar kisah kekayaan yang menyilaukan ini kami benar-benar seperti istilah yang sering digunakan TUKUL ARWANA di acara EMPAT MATA.

    Kami benar-benar KATRO alias Ndeso alias Kampungan !

    Ilustrasi GAMBAR MOBIL LANDCRUISER
    Ilustrasi GAMBAR MOBIL LANDCRUISER

    Mengapa ? Sebab kami terkejut-kejut mendengar cerita soal kekayaan ini. Bahkan si Pemilik Salon saja sampai setengah becanda mengomentari kepolosan kami. “Kasihan deh lu Mbak, gak gaul bener !” katanya sambil tertawa renyah.

    Siapa yang tidak kaget, ketika diceritakan bahwa isteri si oknum pejabat ini adalah kolektor BERLIAN MEWAH.Dan tidak ada satu butirpun berliannya yang kecil, semua besar-besar karena memang hobi dari si ibu pejabat yang satu ini mengoleksi berlian sebesar kelereng.Memang ekstra besar !

    “Mbak Mega tahu gak harga berlian si ibu itu berapa, coba tebak kalau yang besar begitu harganya berapa ?” tanya si Pemilik Salon.

    Ilustrasi GAMBAR BERLIAN MEWAH
    Ilustrasi GAMBAR BERLIAN MEWAH

    “Saya gak tahu Mbak, boro-boro tahu harga berlian !” jawab KATAKAMI.

    “Berlian si ibu itu, anting-antingnya, itu sepasang ada yang harganya 1 miliar, ada yang harganya 2 miliar. Itu cuma untuk sepasang anting lho Mbak, belum kalungnya, belum cincinnya, mahal berliannya” kata si Pemilik Salon.

    “Berapa tadi ? Sepasang anting ada yang harganya 2 miliar ? Busyet, itu beneran atau bohongan ? Busyet, mahal bener Mbak ?” begitu sahut KATAKAMI.

    Apple-style-span” style=”font-family:arial;”>“Aduh Mbak, Mbak, berlian itu sistemnya krat-kratan, satu krat itu ratusan juta. Satu butir berlian, isinya bisa 5 sampai 7 krat. Kira-kira begitulah. Memang mahal Mbak. Yang jual berliannya khan saya juga kenal baik, tokonya di Melawai sana. Namanya Tante F, pelanggan saya juga. Wong saya pernah menemani temannya si Ibu itu, teman saya juga sih, beli perhiasaan berlian habis 1,5 miliar. Itu cuma sekali beli lho” kata si Pemilik Salon.

    Ilustrasi GAMBAR BERLIAN MEWAH
    Ilustrasi GAMBAR BERLIAN MEWAH

    “1,5 Miliar cuma buat beli perhiasaan ? Busyet deh Mbak, ya ampun, ya ampun, kaya bener sih. Ya ampun, buat apa buang duit cuma beli berlian semahal itu ?” tanya KATAKAMI.

    “Kita boleh bilang buat apa, kalau mereka ya enteng aja. Si Bapak Pejabat itu, gak pegang rupiah lho di dompetnya. Di dompet uang dolar Amerika, setumpuk. Kalau saya mengingap di rumah mereka, khan suka banyak keponakan mereka datang. Itu dikasih uang dolar tadi. Dompetnya khan panjang begitu” kata si Pemilik salon.

    “Masak sih gak pegang rupiah, sombong bener !” sahut KATAKAMI.

    “Mbak Mega ini suka ngeyel deh kalau diceritain. Iya bener Mbak, saya lihat sendiri waktu bagi-bagi duit. Kalau soal kekayaan, bukan kaya lagi mereka itu. Tapi … kuaya buangetttttt !” kata si Pemilik Salon.

    Yang lebih mencengangkan lagi, koleksi jam mewah pasutri ini juga sangat dasyat. Dari mulai merek ROLEX seharga ratusan juta dan merek mewah lainnya juga dibeli.

    Tetapi, walau kaya rayat seperti itu, pada tahun 2008 lalu, si oknum pejabat ini pernah mengalami sakit yang serius.

    Almarhum Munir yang tewas dibunuh karena diracun ARSENIK
    Almarhum Munir yang tewas dibunuh karena diracun ARSENIK

    “Mungkin karena ramai di pemberitaan soal kasus pembunuhan itu lho Mbak. Kata si Ibu, hatinya si Bapak menciut ukurannya. Jadi hanya tinggal sekian persen saja. Makan sampai di blender kok. Akhirnya di bawa ke Singapura. Enggak, enggak sampai opname lama kok, cuma general check up. Ternyata katanya salah diagnosa saja. Sekarang Bapak dan Ibu itu makan sepuasnya, berat badannya saja kata Ibu pada naik 10 kg” kata si pemilik salon.

    *****

    Luar biasa, memang akan sangat kelihatan bagaimana KATRO-nya kami jika mendengar kisah kemewahan yang menggiurkan begini.

    Tetapi yang sangat mengganggu di hati dan pikiran kami, bukankah si oknum pejabat yang patut dapat diduga berselingkuh dengan wartawati senior ini, menduduki jabatan eselon I di bidang intelijen.

    Mengapa bisa, mengapa diizinkan, mengapa enak sekali dan mengapa mungkin ada pejabat eselon I tidak perlu berkantor setiap hari. Jadi cuma datang kalau ada rapat penting saja atau mendampingi atasan rapat di DPR-RI ?

    W
    W

    Jika itu memang benar terjadi yaitu ada Pejabat Eselon I dibiarkan bekerja dengan pola yang sangat semaunya, berarti yang salah adalah sistem di dalam kantor mereka. Terutama atasan tertinggi di kantor itu, mengapa gampang sekali memberlakukan pola kerja yang demikian ?

    Begitu banyak pejabat karier yang ingin menjadi pejabat eselon I, tetapi malah sulit mendapatkan kesempatan !

    Dan mengingat banyaknya harta kekayaan yang sangat menyilaukan mata ini, kami juga termenung sejenak.

    Apakah semua harta kekayaan yang sangat dasyat ini, sudah dilaporkan secara resmi dan transparan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lewat Laporan Harta kekayaan Pejabat Negara ?

    Dengan pangkat terakhir bintang 2 atau purnawirawan POLISI dengan pangkat Irjen, berapa sebenarnya gaji yang didapatkan selama ini sehingga bisa mengumpulkan harta kekayaan yang luar biasa banyaknya ?

    Kalau memang purnawirawan POLRI ini punya banyak rezeki, mengapa para anggota POLRI di level bawah hidup serba menyedihkan semua karena gaji sangat pas pasan dan malah serba berkekurangan ?

    Wah wah wah. Kaya sekali untuk ukuran seorang pejabat yang berpangkat terakhir sebagai Irjen Purnawirawan.

    Fantastis sekali ! (MS)